Januari 2026 UU No.1/2023 tentang KUHP Diterapkan
Masyarakat Adat Harus Mengenali Pasal Ranjau yang Dapat Menjerat Upaya Perlawanan
Oleh : Veni Siregar, Senior campaigner Kaoem Telapak dan Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
Penghormatan, pengakuan, dan perlindungan konstitusional terhadap masyarakat adat dengan tegas termuat dalam amandemen UUD 1945 yang tercantum di dalam Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Kedua pasal dalam UUD 1945 tidak memiliki penjelasan secara jelas dan tegas, sehingga mengakibatkan masyarakat adat mengalami Kriminalisai, marginalisasi dan diskriminasi karena relasi kuasa yang timpang sebagai akar tidak adanya kebijakan khusus setingkat UU, situasi ini juga dialami Perempuan dan pemuda adat. Curam Relasi kuasa antara negara dengan masyarakat adat ditunjukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pembangunan yang diintroduksi serta dijalankan oleh pemerintah.
Perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Masyarakat Adat masih bersyarat, berlapis, parsial/sektoral. Kriteria yang dipakai berbeda-beda, demikian pula perbedaan pada prosedur pengakuannya. Beratnya kriteria dan perbedaan prosedur pengakuan inilah yang menjadi penghambat bagi masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan dari negara. Tumpang tindih regulasi ini menyebabkan kerentanan bagi Masyarakat Adat dalam mempertahankan identitas, wilayah, dan kearifan lokal mereka.
Seperti dalam UU Nomor. 1 tahun 2023 tentang Kitap Undang Undang Hukum Pidana yang memiliki pasal karet termasuk pasal yang mengatur hukum adat dan peradilan adat dengan persyarakatan wajib diatur dalam peraturan daerah. Dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi “hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini” pasal ini perlu dikritisi karena berpotensi membuka ruang aparat penegak hukum dan seseorang yang memiliki relasi kuasa untuk melakukan kriminalisasi bagi masyarakat adat yang berada dalam situasi rentan, terutama dalam kasus kekerasan terhadap perempuan atau perkawinan adat. Jika tidak dikeritisi pasal Living Law ini dapat memperparah situasi perempuan dan anak perempuan adat untuk mendapat diskriminasi, serta berbagai tindakan kesewenang-wenangan. Sehingga menempatkan mereka sebagai objek hukum. Dalam konteks mempertahanakan agama leluhur yang dalam dikotomi hukum masuk sebagai agama kepercayaan, KUHP membuka potensi kriminalisasi bagi perorangan dan komunitas adat yang masih memegang agama leluhur. Padahal kita ketahui bahwa kontitusi melindungi ritual dan agama leluhir sebagai Hak atas spiritualitas dan kebudayaan yang masuk dalam kategori hak tradisional Masyarakat Adat yang harus dilindungi selama tidak bertentangan dengan HAM dan Kontitusi.
Dalam kondisi ini masyarakat adat tidak mendapatkan kepastian hukum. Penelitian Perkumpulan HuMa Indonesia mencatat pada 2024, terdapat setidaknya 461 produk hukum daerah yang mengatur mengenai masyarakat adat di Indonesia. Dari 461 produk hukum tersebut, terdapat 182 produk hukum yang berupa pengakuan subjek.[1] Angka ini tentu sangat jauh dari jumlah masyarakat adat yang menjadi anggota AMAN yaitu 2.449 komunitas.[2]
Berikut Pasa-Pasal dalam KUHP Lama yang biasa digunakan untuk mengkriminalkan Masyarakat Adat dan Pasal dalam KUHP Baru yang berpotensi menjerat Masyrakat Adat:
|
UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP |
UU Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP |
|
PASAL-PASAL YANG DILANJUTKAN |
|
|
Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan Pidana penjara paling lama tujuh tahun, sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat dan penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan maut. |
Pasal 262 Ayat 1 Kekerasan bersama-sama di Muka Umum (pengeroyokan) Pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda Katrgori V Unsur: setiap orang; dengan terang-terangan atau dimuka umum; dengan tenaga melakukan kekerasan; kekerasan terhadap irang atau barang |
|
Pasal 187 tentang kebakaran, ledakan atau banjir[3] Pidana Penkara 12 tahun Unsur : Bang siapa; dengan sengaja; menimbukan kebakaran,ledakan atau banjir; karena perbutan timbul bahaya umum bagi barang, bahaya bagi nyawa dan menngakibatkan kematian |
Pasal 308 Tentang Mengakibatkan Kebakaran, Ledakan, dan Banjir pidana penjara paling lama 9 tahun Unsur : (1) adanya subjek hukum (pelaku), (2) maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, (3) memaksa orang lain dengan ancaman pencemaran nama baik (lisan atau tulisan) atau membuka rahasia, dan (4) agar korban memberikan sesuatu atau membuat/menghapuskan utang, |
|
Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan (Dibatalkan MK) pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah Unsurnya : (1) barang siapa, (2) secara melawan hukum, (3) memaksa orang lain, (4) untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, (5) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. |
Pasal 304 Menghina pemimpin penyelengaraan ibadah atau upacara keagamaan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (50 Juta) |
|
Pasal 369 (1) tentang ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan[4] – pidana penjara paling lama empat tahun – Delik aduan – Unsur (1) adanya subjek hukum (pelaku), (2) maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, (3) memaksa orang lain dengan ancaman pencemaran nama baik (lisan atau tulisan) atau membuka rahasia, dan (4) agar korban memberikan sesuatu atau membuat/menghapuskan utang, |
Pasal 448 tentang Pencemaran Nama Baik Pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II( 10 juta)
Unsurnya : (1) barang siapa, (2) secara melawan hukum, (3) memaksa orang lain, (4) untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, (5) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. |
|
Pasal 362 tentang Pencurian pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu
Unsur-unsurnya adalah: (1) mengambil sesuatu barang, (2) barang tersebut milik orang lain, dan (3) dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum |
Pasal 476 tentang Pencurian Pidan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (500Juta)
Unsur-unsurnya adalah: (1) mengambil sesuatu barang, (2) barang tersebut milik orang lain, dan (3) dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum |
|
Pasal 372 Pengelapan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Unsurnya : (1) barang siapa; (2) dengan sengaja; (3) melawan hukum; (4) memiliki suatu barang; (5) yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain; (6) tetapi barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. |
Pasal 486 tentang Pengelapan pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak kategori IV (200jt)
Unsurnya : (1) barang siapa; (2) dengan sengaja; (3) melawan hukum; (4) memiliki suatu barang; (5) yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain; (6) tetapi barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. |
|
Pasal 406 tentang Pengerusakan Barang penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta
Unsurnya : (1) barang siapa; (2) dengan sengaja; (3) melawan hukum; (4) menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan; (5) suatu barang; (6) seluruhnya atau sebagian milik orang lain. |
Pasal 521 tentang pengerusakan Barang 1)penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV (200) juta 2) jika akibat kerugian nilainya tidak lebih dari Rp500 ribu,pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta. |
|
Pasal 55 tentang Peryertaan Dipidana sebagai pelaku tindak pidana karean melakukan dan menyuruh melakukan perbuatandengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan |
|
|
|
|
|
PASAL BARU DALAM UU NO.1/2023 tentang KUHP |
|
|
Pasal 2 berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
|
|
Pasal 66 ayat (1) huruf f pidana tambahan dapat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat. |
|
|
Pasal 96 tentang Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat senilai kategori II Rp.10.000.000,- |
|
|
Pasal 302 ayat 1 Menghasut agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. |
|
|
Pasal 412 tentang Perzinahan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II |
|
|
Pasal 597 tentang Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat Pidana denda kewajiban adat |
|
UU KUHP akan berlaku mulai Januari tahun 2026, namun belum semua komunitas masyarakat adat mengetahui bahwa living law yang akan diterapkan, khususnya yang kami temui di wilayah Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumba. Minimnya sosialisasi KUHP oleh kementrian ini mengakibatkan mitigasi dampak yang akan dilakukan menjadi minim. Untuk itu Masyarakat Adat bersama gerakan masyrakat sipil perlu memperkuat kolaborasi untuk mengantisipasi ini.
Perempuan Adat dalam lingkaran jerat KUHP lama antara lain:
- Perempuan Adat terlibat Aksi aksi Protes di media social dan Aksi massa dianggap sebagai bagian dari perbuatan tidak menyedangkan yang diancam dengan pasal 335 jo. 369 ayat KUHP lama dan Pasal 448 ayat 1B UU No.1/2023
- Perempuan Adat yang mempertahankan Tanahnya, karena tanah adat tidak memiliki sertifikat dan pengakuanya setingkat Perda. Sementara pelaksaan PSN dan Ekspansi sawit memiliki surat Izin HGU sehingga dalam laporan dianggap sebagai perbuatan yang menggar pengerusakan Pasal 406, Penggelapan pasal 372 atau Potensi dikenakan pasal Pasal 521 dan pasal 486
- Perempuan yang terlibatprotes diwilayah konsesi perusahaan, dalam situasi mempertahankan keselamatan diri sehingga melakukan perlawanan fisik sering diancam mengunakanl Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan potensi di KUHP baru dikenakan pasal Pasal 262 Ayat 1
- Perempuan Adat Berladang dengan cara berbakar adalah bagian tradisi masyarakat adat dalam melakukan aktivitas bertani dan berkebun untuk menopang sumber kehidupan dan keberlanjutan hidup. Namun tindakan ini dikenakan pada pasal 187 ayat 1, dapat dilanjutkan menjadi pasal Pasal 308
- Dengan Tujuan Bertahan, Dua Perempuan Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku Goban di Nangahale, Kecamatan Tali Bura, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur ditahan karena memperjuangka hak atas tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) di Nangahale.[5]dikenakan pasal 406 tentang pengerusakan dan berpotensi mengudnakan pasal 521 dalam KUHP UUNo.1/2023
- Perempuan Adat yang harus bertahan di tanah adat karena suaminya dikriminalisasi karena aksi melawan Perusahaan. Perempuan ini rentan mengalami Intimidasi, pelcehan dan Kekekrsaan, namun harus tetap bertahan. Mereka berpotensi dikenakan pasal berlapis Pasal 372 Pengelapan dan pasal 369 atau dalam masuk dalam pasal 446 dan 486 KUHP No.1 tahun 2023
- Perempuan adat yang hidup dalam kawasan perusahaan sawit lalu mengambil trondon (buah sawit yang berjatuhan) berpotensi dikenakan tuduhan yang terdapat dalam pasal 362 KUHP lama atau Pasal 476 tentang Pencirian
- Perempuan adat korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga berpotensi diselesaikan mengunakan pasal 597 yang mencakup pasal 2 tentang Hukum Adat UU No.1/2023
- Pelaku kekerasn terhadap perempuan yang diselesikan mengunakan Hukum adat berpotensi Restutusi yang seharusnya untuk korban akan diperuntukan bagi denda adat seperti yang termuat dalam pasal Pasal 96 tentang Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat
- Perempuan adat yang menjalankan perkawinan sesuai dengan ketentuan adat karena tidak memiliki dokumen pencatatan perkawinan berpotensi mengalami kriminalisasi karena dokumen perkawinanya tidak tercatat dan dapat dikenakan Pasal 412 tentang Jumlah denda adatnya juga dibatasi hanya sebesar Kategori II atau sebesar RP.10.000.000,-
- Perempuan adat sebagai pelestari budaya dan pengetahuan keluarga serta komunitasnya, jika menganjak keluarga atau komunitasnya untuk memeluk agama leluhur yang tidak masuk dalam kategori agama kepercayaan di Indonesia, berpotensi dikenakan pasal Pasal 302 ayat 1 Menghasut agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan dalam KUHP baru.
- Aktivis perempuan dan perempuan pengerak baiak di nasional ataupun di daerah berpotensi mengalami kriminalisasi jika menyatakan keberatan terhadap pemuka agama atau pemuka upacara keagamaan/kepercayaan yang merendahkan perempuan. Pasal akret tersebut termuat dalam Pasal 304 tentang menghina pemimpin penyelengaraan ibadah atau upacara keagamaan.
Unduh dokumen: Pasal Ranjau KUHP Baru bagi Masyarakat Adat
[1] Malik et.al, Laporan Riset Produk Hukum Daerah Terkait Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat (Hukum) Adat Di Indonesia, Perkumpulan HuMa Indonesia, 2024, halaman 109.
[2] Lihat: Profil Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dapat diunduh di https://aman.or.id/organization-document, diakses 18 Maret 2025.
[3] https://mongabay.co.id/2025/03/18/mau-berladang-perempuan-talang-mamak-terjerat-kasus-karhutla/
[4] https://mongabay.co.id/2024/09/18/protes-bencana-nikel-berujung-kriminalisasi-aktivis-lingkungan-koalisi-ngadu-ke-komnas-ham-dan-komnas-perempuan/
[5]https://ppman.org/sikka/#:~:text=penangkapan%20dan%20penahanan%208%20(delapan)%20orang%20masyarakat,yang%20telah%20diakui%20secara
%20nasional%20dan%20internasional.