#SahkanRUUMasyarakatAdat

Search

BADAN PERMANEN 8J HASIL CBD COP 16: NASIB KONSERVASI INDONESIA JIKA TANPA PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT

Jakarta 12 November 2024. Sejumlah organisasi masyarakat sipil dari Indonesia turut aktif dalam pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD),  mengajukan  tiga  poin  penting  dalam  dorongannya:  (1)  Pengakuan  terhadap kontribusi  Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam perlindungan keanekaragaman hayati,  (2)  Penghentian  faktor  penyebab  kehilangan  keanekaragaman  hayati  (Drivers Biodiversity Lost), dan (3) Mendorong mobilisasi sumber daya langsung kepada Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal. Hasilnya, hanya poin pertama yang memiliki titik terang dengan disepakatinya pembentukan subsidiary body 8J. Sementara dua poin lainnya belum memiliki titik terang.

Dalam pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) di Cali, disepakati pembentukan Subsidiary Body 8J. Merupakan badan permanen yang  dibentuk  untuk  memberikan  panduan  dalam  mencapai  target  global  KM-GBF (Kunming-Montreal  Global  Biodiversity  Framework)  khususnya  yang  berkaitan  dengan penghormatan dan pengakuan terhadap pengetahuan lokal serta praktik-praktik masyarakat adat dalam konservasi keanekaragaman hayati. Mandat ini diharapkan mampu mengakui dan  menghormati kontribusi serta   peran masyarakat adat dalam melestarikan keanekaragaman  hayati  di  Dunia.  Dalam  merespon  ini  semua,  koalisi  kawal  RUU Masyarakat Adat menilai pentingnya mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat untuk menjalankan komitmen Pemerintah Indonesia di dunia Internasional sebagai bagian dari agenda perlindungan keanekaragaman hayati.

Direktur   Eksekutif   Forest    Watch   Indonesia    (FWI),  Mufti  Barri,  menyatakan  bahwa “dibentuknya  Subsidiary  Body  8j  merupakan  momentum  yang  harus  disambut  untuk menunjukkan bahwa masyarakat adat dan lokal merupakan penjaga biodiversity di dunia. Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki, tidak hanya flora, fauna, dan ekosismtemnya, tetapi juga keragaman budaya dan pengetahuan lokal di masyarakatnya. Sebagai negara mega cultural biodiversity yang telah diakui oleh dunia, maka sudah sewajarnya Undang-Undang Masyarakat Adat segera disahkan.  Karena  Masyarakat  Adat  merupakan  bagian  dari  keanekaragaman  hayati tersebut”.

“Tanpa upaya holistik, keberhasilan target perlindungan keanaekaragaman hayati nasional seperti pada target IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) (2025-2045) menjadi  semakin  sulit  tercapai.  Selain  itu,  pengakuan  Masyarakat Adat dalam lingkup internasional harus diikuti dengan adanya pengakuan di tingkat nasional dan sub-nasional. Tanpa adanya UU Masyarakat Adat sebagai payung hukum yang jelas, pengakuan yang ada hanya akan bersifat simbolik dan tidak memiliki kekuatan hukum dalam mendukung perlindungan keanekaragaman hayati”, tutup Mufti.

Sayangnya, tahun 2024 meskipun didorong oleh beberapa fraksi seperti PKB, Nasdem, dan PKS, RUU ini belum masuk dalam daftar Prolegnas 2024-2029 yang diusulkan komisi-komisi, sebuah langkah yang memperlihatkan kurangnya dukungan untuk pengakuan hukum keberadaan Masyarakat Adat beserta hak asal-usulnya sebagai subjek dan aktor penting konservasi keanekaragaman hayati di Nusantara.

Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) pernah diusulkan tahun 2010, dan kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI pada tahun 2014, 2017, dan 2023. Pembahasan RUU MA kunjung tidak disahkan.

Untuk memastikan keadilan dalam konservasi, pembentukan dan penguatan kebijakan yang mendukung masyarakat adat melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah yang mendesak. Konservasi keanekaragaman hayati yang inklusif akan menjadi nyata jika didukung  oleh     kebijakan  yang  selaras  di  berbagai  tingkat,  baik  nasional  maupun internasional.

Praktik konservasi tradisional masyarakat adat, seperti menjaga keseimbangan ekosistem hutan,  laut,  dan  sumber  air,  telah lama melestarikan keanekaragaman hayati. Namun, ketiadaan perlindungan hukum komprehensif melalui Undang-Undang Masyarakat Adat di Indonesia menempatkan mereka dalam posisi rentan. Eustobio Rero Renggi, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengusulkan pengakuan dan perlindungan serta partisipasi penuh dan efektif Masyarakat Adat dalam merumuskan segala bentuk kebijakan konservasi yang berkeadilan dan berkelanjutan, termasuk mengakhiri ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berdampak langsung pada keberlangsungan kehidupan masyarakat adat.

Ketiadaan Undang-Undang Masyarakat Adat di Indonesia menjadi problem mendasar yang membuat Masyarakat Adat rentan terhadap perampasan wilayah adat dan kriminalisasi, serta menghambat pengakuan mereka sebagai rightholders dalam konservasi berkelanjutan dan berkeadilan. Renggi menegaskan bahwa pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas  tanah  dan  sumber  daya  alam  merupakan  langkah yang sangat diperlukan untuk melindungi keberlanjutan ekosistem yang mereka kelola. Dengan adanya undang-undang yang khusus, pemerintah diharapkan dapat menciptakan kerangka kebijakan yang tidak hanya  melindungi  wilayah  adat  dari eksploitasi, tetapi juga mengakui masyarakat adat sebagai mitra utama dalam upaya konservasi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Tantangan Keanekaragaman Hayati dan Hak Masyarakat Adat di Indonesia

Sebagai  negara  megabiodiversitas,  Indonesia memiliki peran penting dalam konservasi global. Namun, kekayaan hayati Indonesia saat ini berada dalam kondisi terancam oleh aktivitas-aktivitas yang  tidak memperhitungkan keberlanjutan lingkungan, termasuk deforestasi untuk perkebunan, penambangan ilegal, dan pembangunan infrastruktur masif. Isu-isu  ini  bukan  hanya  mengancam  spesies  dan  habitat,  tetapi  juga  mengancam komunitas-komunitas lokal yang telah lama bergantung pada sumber daya alam tersebut untuk kelangsungan hidup mereka.

Parahnya, di Indonesia, hanya 16% dari wilayah adat yang telah diakui secara hukum, padahal wilayah adat yang luasnya mencapai 30,1 juta hektare menyimpan kekayaan hayati dan ekosistem yang masih terjaga. Adanya pengakuan dan perlindungan hak atas tanah adat dinilai penting untuk mewujudkan target 30×30, yaitu melindungi 30% area daratan dan lautan di Indonesia pada tahun 2030.

Uli Arta Siagian dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menjelaskan peran masyarakat adat dalam melestarikan lingkungan dan bagaimana kebijakan yang melindungi hak-hak  ini  sangat  penting dalam mencapai keberlanjutan ekologis. Uli juga menyoroti kebutuhan  akan  kebijakan  publik  yang  berbasis  keadilan  sosial,  khususnya  setelah komitmen-komitmen COP 16.

Selama 79 tahun, negara telah membuat kebijakan yang memisahkan rakyat dari ruang hidup  dan  sumber-sumber  penghidupannya,  yang  berujung  pada  pembunuhan  massal terhadap pengetahuan dan pengalaman hidup bersama rakyat. Solusi nyata yang untuk masyarakat adat memerlukan koreksi kebijakan yang mendalam, dengan mempercepat dan memperluas  pengakuan  serta  perlindungan  terhadap  wilayah  adat.  Ini  penting  untuk memastikan bahwa masyarakat adat tidak hanya diakui hak-haknya, tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah mereka.

Menurut Uli “Keadilan Ekologis adalah titik balik untuk keluar dari krisis multidimensional saat ini, dan keadilan ekologis tidak mungkin terwujud tanpa pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat. Koreksi kebijakan dengan menghapus undang-undang bermasalah, serta melahirkan undang-undang yang melindungi rakyat dan lingkungan seperti Undang-undang Masyarakat  Adat  serta  Undang-undang  Keadilan  Iklim  harus  segera  dilakukan  oleh Pemerintah.”

Dalam  konteks  ini,  Bimanthara  Adjie  Wardhana  dari  Perkumpulan  HuMa  membahas bagaimana praktik konservasi masyarakat adat dapat mendukung target Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).

Beliau menekankan bahwa keberhasilan target global tersebut tidak bisa tercapai tanpa partisipasi aktif dari masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal yang kaya tentang ekosistem mereka, yang sudah teruji dalam menjaga kelestarian alam selama berabad-abad. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan mereka dalam proses pemantauan dan evaluasi kebijakan konservasi. Tidak hanya itu, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam mereka juga menjadi kunci untuk mewujudkan tujuan KM-GBF, yang salah satunya adalah menjaga keanekaragaman hayati dunia secara berkelanjutan.

Selain itu, Bimanthara juga menyarankan bahwa organisasi masyarakat sipil (CSO) perlu membagi  peran  dalam  upaya  mendorong  dan  berkolaborasi  di  level  nasional  dan subnasional. Menghadapi konstelasi perubahan dalam rezim pemerintahan baru, baik di tingkat     pusat maupun  daerah,    ia    menekankan   pentingnya    penyesuaian               terhadap nomenklatur dan landasan kebijakan baru. Salah satu langkah strategis yang diusulkan adalah  mendorong  Peraturan  Presiden  (Perpres)  sebagai  basis  kebijakan  yang  lebih mengikat    dan                   mengatur,   guna memastikan keberlanjutan upaya konservasi dan perlindungan terhadap wilayah adat dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Narahubung:

Media Koalisi RUU MA – +62 857-2034-6154

BAGIKAN ARTIKEL INI
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terkait

id_IDBahasa Indonesia