#LegitimizeIndigenousCommunitiesBill

Search

Masyarakat Adat dan Pancasila: Refleksi dan Ujian Implementasi

Indonesia bukan sekedar negara yang memiliki banyak pulau, bukan juga sekedar mosaik geografis yang terbentang luas dari sabang hingga merauke, tetapi juga merupakan tempat hidup ribuan budaya dengan Masyarakat Adat sebagai salah satu aktor pentingnya.  Masyarakat Adat sebagai penjaga hutan dan  kearifan tradisional telah mewujudkan kebhinekaan yang nyata. Di sisi lain, Pancasila sebagai ideologi menawarkan rumah yang inklusif bagi kebhinnekaan ini.  Selain itu, Pancasila yang selain menjadi ideologi tetapi dasar negara telah mencakup nilai-nilai pluralistik yang meresapi sistem hukum nasional. Pada pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit telah diakui tentang keberadaan Masyarakat Adat serta hak tradisionalnya Namun, seringkali terjadi kesenjangan antara kondisi ideal Pancasila dengan realitas pahit yang dialami oleh Masyarakat Adat.

Penulis melalui tulisan ini ingin berargumen bahwa pengakuan dan pemberdayaan Masyarakat Adat adalah ujian implementasi Pancasila, tetapi juga sekaligus kunci menuju keadilan sosial yang paripurna. Masyarakat Adat dalam laku hidupnya sampai hari ini, sampai detik tulisan ini dibuat telah melaksanakan apa yang tertuang dalam sila-sila Pancasila. Penulis mencoba menjabarkannya sebagai berikut.

 

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Pada sila pertama, menurut Aragon (2000), Masyarakat Adat telah menempatkan alam dan leluhur dalam relasi spiritual yang sakral. Ritual penghormatan alam merupakan sistem teologis holistik yang selaras dengan sila pertama. Konsekuensinya, jika terjadi pengabaian spiritualitas Masyarakat Adat, maka hal ini bertentangan dengan kebebasan beribadah sebagaimana telah diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.

  1. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Warren (1993) menyatakan bahwa nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban dapat mewujud dalam bentuk aturan adat yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam. Selain itu, prinsip gotong royong dan penyelesaian konflik secara musyawarah telah menjadi bagian erat dalam sistem sosial Masyarakat Adat. Hal ini berarti bahwa segala bentuk kriminalisasi dan pengusiran paksa Masyarakat Adat merupakan pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia dan berseberangan dengan sila kedua.

  1. Persatuan Indonesia

Persatuan tidaklah sama dengan kesatuan. Accioli (2001) menyatakan bahwa kekayaan budaya Masyarakat Adat adalah penyangga identitas nasional Indonesia yang majemuk. Konsekuensinya, pemaksaan atau upaya mengubah budaya baik yang melekat pada Masyarakat Adat dengan penafsiran tunggal pemerintah justru meruntuhkan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila memiliki semangat dalam menyatukan keberagaman yang telah ada dan Masyarakat Adat dalam hal ini adalah bagian yang penting dalam proses ini.

  1. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Li dalam Modern Asia Studies (2001) menyatakan bahwa Masyarakat Adat selama ini telah menjadikan musyawarah mufakat sebagai jantung pemerintahan adat tradisional. Pengabaian lembaga adat dalam pengambilan keputusan dapat merusak demokrasi deliberatif. Sebaliknya, prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) dalam setiap proses pembangunan terlebih yang dilakukan oleh negara merupakan perwujudan konkret sila keempat.

  1. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Faktanya, banyak kasus Masyarakat Adat di wilayah kaya akan sumber daya alam justru termarginalkan yang berujung pada perampasan tanah ulayat. Perampasan tanah ulayat tanpa kompensasi adil adalah pengingkaran sila kelima. Menjunjung keadilan sosial dalam Pancasila seharusnya ditlaksanakan dengan mengakui hak ulayat Masyarakat Adat dan pemberdayaan berbasis kearifan lokal.

 

Baca juga : “Hak-Hak Tradisional” Dalam Konstitusi: Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

Meskipun sejatinya Masyarakat Adat telah melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam laku hidupnya, nyatanya hingga saat ini mereka belum mendapatkan haknya secara penuh dan sering mengalami kriminalisasi dan diskriminasi. Untuk mengatasi kesenjangan antara ideal Pancasila dan realitas yang ada tersebut, penulis merasa diperlukan langkah konkret berupa pengakuan hukum yang secara khusus mengatur Masyarakat Adat, dalam hal ini adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat Menjadi Undang-Undang. Hal ini juga sesuai putusan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tentang UU Kehutanan. Solusi ini penulis pandang sebagai langkah yang strategis dan progresif. Meskipun demikian, solusi ini juga harus diikuti dengan perubahan paradigma negara dalam memandang Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat bukanlah objek pembangunan atau relik masa lalu semata. Mereka adalah subjek hukum dan pemegang hak serta bagian vital bagi masa depan Indonesia. Menurut Dawson dan kawan-kawan (2024), tata kelola yang adil berdasarkan kemitraan setara bagi Masyarakat Adat dan komunitas lokal memiliki dampak  terhadap kondisi ekologi yang secara signifikan lebih positif.

 

Masyarakat Adat Taman Meragun  di Kabupaten Sekadau bergotong royong menanam padi ladang.

 

Pada prinsipnya memperjuangkan hak Masyarakat Adat bukanlah ancaman bagi Pancasila, melainkan pemenuhan janji terdalam dari Pancasila itu sendiri, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia, dalam bingkai persatuan yang menghargai perbedaan, menjunjung hikmat kebijaksanaan/perwakilan, berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, serta di bawah lindungan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam keberagamannya. Penguatan Masyarakat Adat adalah penguatan Pancasila itu sendiri. Ketika hak-hak adat dihormati, Indonesia bukan hanya lebih adil, tetapi juga lebih tegas dalam mencerminkan jati dirinya. Pancasila hanya kokoh bila semua pilar termasuk Masyarakat Adat dapat berdiri setara dalam negara ini.

 

Daftar Pustaka

Acciaioli, G. 2001. Archipelagic Culture’ as an Exclusionary Governmental Discourse in Indonesia. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 2(1), 1-23.

Aragon, L. V. 2000. Fields of the Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia. University of Hawai’i Press.

Dawson, N. M., Coolsaet, B., Bhardwaj, A., Booker, F., Brown, D., Lliso, B., Loos, J., Martin, A., Oliva, M., Pascual, U., Sherpa, P., & Worsdell, T. 2024. Is it just conservation? A typology of Indigenous peoples’ and local communities’ roles in conserving biodiversity. One Earth, 7(6), 1007–1021. https://doi.org/10.1016/j.oneear.2024.05.00

Li, T. M. 2001. Masyarakat Adat, Difference, and the Limits of Recognition in Indonesia’s Forest Zone. Modern Asian Studies, 35(3), 645-676.

Warren, C. 1993. Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State. Oxford University Press.

 

SHARE THIS ARTICLE
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terkait

Press Release

Lindungi Hak Masyarakat Adat dalam Menopang Kedaulatan Pangan Nusantara dan Menjaga Keanekaragaman Hayati Dunia Bogor 9 Agustus 2025 Bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Badan Registrasi Wilayah

en_USEnglish