#LegitimizeIndigenousCommunitiesBill

Search

Menagih Janji Negara: Kegentingan Undang-Undang Masyarakat Adat Disahkan

Hampir tiga dekade sejak reformasi bergulir namun masyarakat adat di Indonesia masih menunggu janji konstitusi yang belum ditunaikan, yaitu pengakuan dan perlindungan secara utuh oleh negara.

Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dengan jelas menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Ini adalah bentuk pengakuan konstitusional yang progresif. Namun, hingga hari ini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Masyarakat Adat yang menjadi payung hukum nasional bagi perlindungan hak-hak mereka. Di sinilah kita menghadapi kekosongan hukum konstitusional.

Dalam kerangka teori hukum, kekosongan hukum semacam ini disebut sebagai rechtsvacuum atau kekosongan norma. Menurut Hans Kelsen (1967) dalam Pure Theory of Law, norma-norma hukum membentuk sistem bertingkat dari yang paling abstrak (konstitusi) ke yang paling konkret (peraturan teknis). Maka, ketika norma dasar (konstitusi) telah menyatakan sesuatu, tetapi tidak diikuti oleh norma pelaksana di bawahnya, terjadi ketimpangan dalam sistem hukum.

Indonesia saat ini belum memiliki undang-undang khusus yang menjadi payung hukum nasional dalam mengatur dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Kekosongan hukum ini menimbulkan persoalan serius dalam tata kelola regulasi karena meskipun terdapat berbagai peraturan perundang-undangan pada tingkat di bawah undang-undang—seperti peraturan daerah, peraturan menteri, hingga keputusan Mahkamah Konstitusi (misalnya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012)—semuanya bersifat parsial, sektoral, dan sering kali tidak saling terkoordinasi. Hal ini menciptakan tumpang tindih norma dan fragmentasi kebijakan dalam implementasi perlindungan terhadap masyarakat adat.

Ketidakhadiran undang-undang yang bersifat komprehensif juga menyebabkan tidak terbentuknya hierarki regulasi yang sesuai dengan prinsip Stufenbau Theory dari Hans Kelsen, di mana norma hukum yang lebih rendah harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, prinsip ini telah diadopsi secara normatif dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022), yang menegaskan pentingnya keterpaduan dan keselarasan antar peraturan dalam struktur hierarkis hukum nasional.

Ketidakkoherenan regulasi ini tidak hanya menghambat pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, tetapi juga berpotensi menciptakan konflik hukum antara norma lokal dan norma nasional. Di satu sisi, masyarakat adat sering kali mendapatkan pengakuan melalui perda atau keputusan kepala daerah, namun di sisi lain, pengakuan ini menjadi lemah atau bahkan tidak diakui ketika berbenturan dengan kepentingan investasi, kebijakan sektor kehutanan, atau pertambangan yang didasarkan pada peraturan nasional lainnya.

Satjipto Rahardjo (2006) dalam Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan menyebut kekosongan hukum sebagai tantangan yang harus dijawab secara kreatif dan berpihak pada keadilan substantif. Jika hukum tertulis belum hadir, maka pendekatan sosiologis dan moral harus menjadi panduan sementara dalam mengambil keputusan.

Tafsir MK 35/2012 vs Legislasi UU: Mana yang Melindungi?

Mahkamah Konstitusi (MK) memang telah membuat putusan yang progresif, seperti dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa “hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara.” Putusan ini adalah bentuk penafsiran konstitusional teleologis, yaitu menafsirkan UUD berdasarkan semangat keadilan dan pengakuan hak.

 

Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan pengujian terhadap UU Kehutanan yang diajukan oleh 3 aliansi masyarakat hukum adat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu.

 

Secara teori, kekosongan hukum konstitusional dapat diisi melalui dua cara: penafsiran konstitusi oleh lembaga yudisial dan pembentukan undang-undang oleh legislatif. Namun dalam kasus masyarakat adat, putusan MK 35/2012 hanya diterjemahkan secara sektoral dan parsial saja di beberapa peraturan perundang-undangan, peraturan menteri, dan peraturan daerah (Perda) kabupaten/kota, belum ada payung hukum nasional yang secara khusus dan eksplisit mengatur dalam bentuk undang-undang yang dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum positif.

Secara de jure yang dibutuhkan adalah legislasi undang-undang khusus mengenai masyarakat adat yang akan menerjemahkan dan mengatur tentang definisi, hak, kelembagaan, hingga tata ruang masyarakat adat. Legislasi undang-undang masyarakat adat tersebut selayaknya menjadi peraturan yang melindungi serta mengatur secara komprehensif dan eksplisit ke dalam aturan yang paling konkret menurut Hans Kelsen diatas sehingga menjadi payung hukum nasional.

Penundaan berlarut terhadap pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Masyarakat Adat ini menunjukkan tidak konsekuennya kekuasaan legislatif dan pemerintah eksekutif untuk merespons dengan serius persoalan ini.

Kekosongan Hukum: Kegentingan UU Masyarakat Adat Disahkan

Selama kekosongan hukum dibiarkan, masyarakat adat terus berada dalam posisi kerentanan yang berkelanjutan. Tanpa perlindungan hukum eksplisit, mereka mudah dikriminalisasi, hak ulayat mereka dilanggar, dan ruang hidup mereka dikorbankan atas nama pembangunan. Ini bukan hanya masalah legal hukum, tapi juga soal keadilan dan hak asasi.

Kita melihat berbagai konflik agraria dan lingkungan yang terjadi di banyak wilayah adat.  Ketiadaan pengejawantahan konstitusi UUD NRI Tahun 1945 pasal 18B ayat (2) melalui undang-undang khusus dan eksplisit, membuat banyak hak masyarakat adat tidak memiliki kepastian dan perlindungan hukum, mengakibatkan kriminalisasi dan perampasan wilayah adat. Padahal, hak atas tanah, hutan, dan sumber daya alam merupakan bagian integral dari sistem kehidupan masyarakat adat.

 

Ribuan Masyarakat Adat dari berbagai daerah mulai berdatangan ke Jakarta untuk mengikuti aksi Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) di gedung DPR RI dan Istana Negara pada Jum’at, 11 Oktober 2024.

 

Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir (2014-2024) terdapat 11,07 juta hektar wilayah adat telah dirampas, sekitar 687 letupan konflik agraria di wilayah adat melibatkan warga masyarakat adat, tercatat 925 kasus warga masyarakat adat mengalami kriminalisasi, 60 orang diantaranya mengalami tindakan kekerasan dari aparat negara, dan 1 orang meninggal dunia. Tidak sampai disitu, data terbaru AMAN tahun 2025 angka itu bertambah, selama Januari sampai dengan bulan Juni tercatat sebanyak 120 kasus kekerasan dan perampasan wilayah adat, terdapat 25 pejuang masyarakat adat dikriminalisasi. Perampasan wilayah dan kriminalisasi tersebut diatas adalah kegentingan dan alarm atas pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat.

Sebagai contoh, dua kasus berikut menunjukkan bagaimana kekosongan hukum kerap berujung pada kriminalisasi terhadap masyarakat adat;

Pertama, kasus Sorbatua Siallagan, seorang tetua adat dari komunitas Ompu Umbak Siallagan di Sumatera Utara. Pada tahun 2024, ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena dituduh “menerobos dan menguasai” kawasan hutan konsesi milik PT Toba Pulp Lestari (TPL). Padahal, lahan yang dipertahankannya adalah wilayah adat yang telah dikelola secara turun-temurun, jauh sebelum negara memberikan izin konsesi kepada perusahaan tersebut. Pengadilan Tinggi Medan kemudian membatalkan putusan sebelumnya dan memvonis Sorbatua tidak bersalah. Namun jaksa penuntut umum tetap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Baru pada 13 Juni 2025, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Sorbatua memang tidak bersalah, sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi. Sayangnya, keputusan ini tidak menghapus kenyataan bahwa Sorbatua telah mendekam di penjara selama tujuh bulan—sebuah pengalaman pahit yang mencerminkan kriminalisasi akibat kekosongan hukum dan lemahnya perlindungan terhadap hak masyarakat adat.

Kedua, kasus serupa yang terjadi di Kalimantan Tengah. Pada 25 Maret 2025, Kepala Desa Tempayung, Syahyunie, dijatuhi hukuman enam bulan penjara karena memimpin warganya menolak ekspansi lahan kelapa sawit oleh PT Sungai Rangit. Wilayah yang dipertahankan adalah tanah ulayat yang menjadi sumber hidup komunitas adat di desa itu. Aksi penolakan dan pemortalan yang dilakukan warga masyarakat adat ini adalah bagian dari protes atas ketimpangan pengelolaan lahan dan tuntutan pembagian plasma. Aksi penolakan justru dibalas dengan jerat pidana. Sementara negara tampak lebih berpihak pada kepentingan korporasi ketimbang melindungi hak masyarakat adat.

Kedua kasus ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya konflik dan persoalan masyarakat adat yang tersebar di berbagai pelosok nusantara. Sudah terlalu sering masyarakat adat terusir dari tanah mereka sendiri tanpa mekanisme perlindungan yang adil. Ketimpangan perlindungan hukum ini menegaskan urgensi kehadiran undang-undang nasional yang secara komprehensif mengakui, melindungi, dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Keberadaan undang-undang khusus masyarakat adat menjadi urgensi konstitusional sekaligus keniscayaan yuridis. Tanpa kehadiran undang-undang tersebut, negara gagal menjalankan perintah Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara utuh, dan membiarkan masyarakat adat dalam kondisi kerentanan hukum yang berkelanjutan.

Baca juga : https://fwi.or.id/menanti-pengesahan-ruu-masyarakat-adat-pada-2025/

 

Mengisi Kekosongan Hukum, Menegakkan Keadilan

Mendesak hadirnya Undang-Undang Masyarakat Adat adalah soal konsistensi negara terhadap konstitusi yang menjadi fondasi bernegara. Ini adalah kewajiban moral, politik, dan hukum. Masyarakat adat bukan komunitas yang minta dikasihani, tetapi kelompok yang berhak mendapatkan keadilan. Bahkan ketika kita mencoba menilik kembali kebelakang, masyarakat adat telah ada dan hidup di pelosok nusantara jauh sebelum negara indonesia itu sendiri diproklamirkan.

Upaya untuk menghadirkan Undang-Undang Masyarakat Adat sebenarnya telah berlangsung hampir dua dekade. Dalam buku AMAN Dua Dekade: Memperjuangkan hak, memperjuangkan kemajemukan. Ditulis oleh Savitri, L. A., dkk. (2022). Menerangkan bahwa Resolusi Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) Ke-2 pada tahun 2003 yang dilaksanakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beserta hasil konsultasi di tujuh region AMAN pada tahun 2005 menegaskan hasil untuk mendesak Pemerintah dan DPR memastikan bentuk pengakuan yang diinginkan masyarakat adat dalam bentuk Indigenous Peoples Bill.

Pada tahun 2010 draft UU Masyarakat Adat diajukan ke DPR untuk pertama kali dan pada saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) Ke-4 di Tobelo tahun 2012 secara simbolik diserahkan langsung kepada Marzuki Alie yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI. Kemudian pada prosesnya, babak baru pergolakan legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2013.

RUU Masyarakat Adat ini berkali-kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun-tahun selanjutnya, namun tak kunjung dibahas secara serius untuk di sahkan. Alasan klasik seperti “masih perlu kajian” atau “masih terjadi tarik menarik antar sektor” menjadi penghambat yang mengindikasikan lemahnya komitmen politik dan tidak konsekuennya negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR terhadap mandat konstitusi dan perlindungan masyarakat adat.

Dalam kegiatan Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh AMAN dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat di Jakarta, 26 Mei 2025 dengan tema yang diangkat “12 Tahun Putusan MK.35 & Kegentingan Pengesahan UU Masyarakat Adat” dihadiri oleh Martin Manurung sebagai Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Martin menyampaikan bahwa saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah melaporkan rencana pembahasan RUU ini kepada pimpinan DPR pada bulan April 2025. Menurutnya, Pimpinan DPR menyambut baik rencana tersebut dan memberikan sinyal bahwa pembahasan dapat segera dimulai. Menurut Martin akan diupayakan Pembahasan Substansi RUU Masyarakat Adat di Baleg DPR pada masa sidang berikutnya (Masa Persidangan Ke-IV DPR Tahun Sidang 2024-2025).

Pada prinsipnya, urgensi atas pengesahan undang-undang ini tidak hanya akan mempertegas posisi hukum masyarakat adat, tetapi juga memperkuat pilar keadilan sosial, hak asasi manusia, pluralisme hukum dan tunainya janji negara untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini saatnya secara kolektif kita menagih janji negara itu sebagai sebuah mandat konstitusi yang wajib segera diterjemahkan dan mewujud dalam bentuk payung hukum nasional yang benar-benar mengakui, melindungi, dan memberikan hak terhadap masyarakat adat.

 

Masyarkat Adat di Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku sedang menjemur rumput laut.

 

Referensi:

  • Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). (2024). Laporan Inventarisasi Konflik dan Perampasan Wilayah Adat 2014–2024. AMAN.
  • Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) & Koalisi Kawal RUU Masyarakat Ada (26 Mei 2025). Dokumen Materi Diskusi Publik “12 Tahun Putusan MK 35  Kegentingan Pengesahan UU Masyarakat Adat”. Jakarta.
  • Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2025). Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. DPR RI.
  • Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press, 2005.
  • Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. University of California Press, 1967.
  • Kompas. (2025, Maret). Kepala Desa Tempayung Syahyunie Dijatuhi Hukuman Enam Bulan Penjara. Kompas.com.
  • Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat.
  • Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara No. 123/Pdt/2024 (Sorbatua Siallagan).
  • Putusan Pengadilan Negeri Kotawaringin Barat No. 45/Pid/2025 (Syahyunie).
  • Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Kompas, 2006.
  • Savitri, L. A., Larastiti, C., & Luthfi, A. N. (2022). AMAN Dua Dekade: Memperjuangkan hak, memperjuangkan kemajemukan. Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Profil Penulis

Hikmawan Pasalo adalah pegiat isu Masyarakat Adat, dengan latar belakang genealogis dari komunitas Masyarakat Adat Limbong – Rongkong, Luwu Utara, Tana Luwu – Sulawesi Selatan.

 

SHARE THIS ARTICLE
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terkait

Press Release

Lindungi Hak Masyarakat Adat dalam Menopang Kedaulatan Pangan Nusantara dan Menjaga Keanekaragaman Hayati Dunia Bogor 9 Agustus 2025 Bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Badan Registrasi Wilayah

en_USEnglish