#LegitimizeIndigenousCommunitiesBill

Search

Saatnya Negara Menepati Janji pada Masyarakat Adat Papua

Di tengah hingar bingar politik nasional dan agenda pembangunan yang terus bergulir, suara masyarakat adat Papua nyaris tak terdengar. Namun pada 31 Juli 2025, dari Sorong, gema itu muncul kembali: lantang, berani, dan penuh harap. Konsultasi Publik RUU Masyarakat Adat yang melibatkan tujuh wilayah adat Papua bukan sekadar forum diskusi. Itu adalah cermin dari harapan kolektif dan perlawanan yang telah lama disimpan terhadap ketidakadilan struktural.

Indonesia kerap mengagungkan frasa “Bhineka Tunggal Ika” dalam berbagai forum resmi, tetapi seberapa sering kita benar-benar mendengarkan mereka yang menjaga keanekaragaman itu dari generasi ke generasi? Masyarakat adat Papua bukan saja menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang abai pada akar budaya, mereka juga menjadi saksi betapa hukum negara kerap hadir bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai alat legitimasi penggusuran, perampasan ruang hidup, dan penghilangan identitas.

Fakta bahwa hingga kini belum ada satu pun undang-undang nasional yang secara eksplisit mengakui dan melindungi masyarakat adat Papua adalah bukti nyata kegagalan negara dalam menepati janjinya pada konstitusi. Padahal, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

RUU Masyarakat Adat yang sedang dibahas seharusnya menjawab kekosongan hukum ini. Tetapi jika dilihat dari naskah yang beredar dan masukan yang disampaikan dalam konsultasi publik di Sorong, kita patut khawatir bahwa RUU ini justru berisiko melanggengkan pendekatan normatif yang sempit. Alih-alih menjamin perlindungan menyeluruh terhadap tanah, hutan, budaya, dan sistem ekonomi adat, rancangan itu hanya menyoroti aspek administratif dan legal semata.

 

Konsultasi Publik RUU Masyarakat Adat Region Papua, 31 Juli 2025.

 

Kita tidak boleh lupa bahwa masyarakat adat Papua telah lama menjaga tanah dan hutannya dengan kearifan lokal yang tak tertandingi. Mereka hidup berdampingan dengan alam, memahami siklus musim, menghormati roh leluhur, dan menjadikan alam sebagai bagian dari identitas mereka. Ketika negara dan korporasi datang dengan bendera pembangunan dan investasi, ruang hidup mereka mulai menyempit. Sayangnya, mereka tidak pernah benar-benar dilibatkan, apalagi dilindungi.

Lebih ironis lagi, dalam beberapa bagian RUU, masyarakat adat bahkan tidak diakui sebagai pemilik modal sumber daya alam. Mereka diposisikan sebagai penerima manfaat, bukan sebagai pemilik sah yang seharusnya memiliki hak penuh untuk menentukan nasib atas tanahnya. Jika ini dibiarkan, maka RUU ini bukanlah jembatan keadilan, tetapi lubang baru dalam sistem yang selama ini telah melukai.

Kekhawatiran lain yang patut dicermati adalah potensi tumpang tindih antara RUU Masyarakat Adat dengan UU Otonomi Khusus Papua. Negara harus sadar bahwa UU Otsus adalah lex specialis. Maka, harmonisasi kedua instrumen hukum ini adalah keniscayaan, bukan pilihan. Tanpa itu, yang terjadi adalah fragmentasi hukum yang hanya akan memperumit pengakuan terhadap hak-hak adat di lapangan.

 

Baca juga: Refleksi pengakuan masyarakat Adat Papua dalam rezim Presiden Jokowi

 

Deklarasi dari tujuh wilayah adat Papua dalam forum ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi para pembuat kebijakan di Jakarta. Masyarakat adat Papua telah menyampaikan dengan sangat jelas: mereka menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat yang berpihak, menyeluruh, dan kontekstual. Bukan produk hukum copy-paste yang lahir dari gedung bertingkat tanpa menyentuh tanah-tanah keramat yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. “Tanah masyarakat adat bukan hanya untuk manusia, tetapi untuk seluruh makhluk hidup yang ada dalam wilayah tersebut,” begitu salah satu pernyataan dalam deklarasi.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukanlah sekadar agenda legislasi. Ia adalah ujian keberpihakan negara terhadap prinsip keadilan sosial. Ia adalah koreksi terhadap sejarah panjang marginalisasi. Ia adalah kesempatan langka bagi negara untuk benar-benar menepati janji konstitusionalnya.

Dari Sorong, suara itu telah disampaikan. Kini, giliran negara menjawab. Apakah negara akan terus berdiri sebagai kekuatan yang meredam suara-suara dari pinggiran? Atau akan hadir sebagai rumah yang menghormati semua penghuninya, termasuk mereka yang pertama kali membuka dan menjaga pintu-pintu peradaban di tanah ini?

Jika Papua masih dianggap bagian dari Indonesia, maka sudah seharusnya masyarakat adatnya mendapatkan tempat yang layak, bukan hanya dalam narasi, tetapi dalam kebijakan nyata. Sebab tanpa pengakuan atas masyarakat adat, kita sedang membangun negeri ini di atas fondasi yang rapuh.

SHARE THIS ARTICLE
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terkait

Press Release

Lindungi Hak Masyarakat Adat dalam Menopang Kedaulatan Pangan Nusantara dan Menjaga Keanekaragaman Hayati Dunia Bogor 9 Agustus 2025 Bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Badan Registrasi Wilayah

en_USEnglish