#SahkanRUUMasyarakatAdat

Search

Uji Formil UU KSDAHE & Pentingnya Pengakuan Serta Perlindungan Masyarakat Adat

Jakarta, 8 Mei 2025 – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat hari ini (7 Mei 2025) mengadakan media briefing untuk menyampaikan urgensi dan perkembangan uji formil terhadap UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE), serta pentingnya pengakuan dan perlindungan hak-hak  Masyarakat  Adat  yang  selama  ini  hidup  di  dalam dan sekitar kawasan hutan yang diklaim secara sepihak oleh pemerintah sebagai hutan negara dengan berbagai fungsi termasuk pada kawasan konservasi.

Dalam proses pembentukannya, UU KSDAHE 2024 dilakukan tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan   UU   dan  menyalahi  prinsip  partisipasi  publik  yang  bermakna  (meaningful participation), khususnya partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat dan Lokal yang terdampak langsung dengan kawasan konservasi.

Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), salah-satu Prinsipal Uji Formil  Undang-Undang  KSDAHE  memaparkan  bahwa  terdapat  3  alasan  utama  Prinsipal mengajukan judicial review UU KSDAHE, yaitu karena tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak  memenuhi  asas  kedayagunaan  dan  kehasilgunaan,  serta  melanggar  asas  keterbukaan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang     Pembentukan            Peraturan Perundang-UndanganSelain  melanggar  azas pembentukan UU yang baik, pembentukan UU KSDAHE  juga  melanggar  ketentuan  tentang  meaningful  participation  sebagaimana  telah ditetapkan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.

“Dalam  proses  pembentukan  UU  KSDAHE  sama  sekali  tidak  mencerminkan  adanya  unsur partisipasi yang bermakna, kedayagunaan dan kehasilgunaan serta kejelasan pembentukan UU KSDAHE. Dari sekitar 20 kali pembahasan hanya dua kali yang terbuka untuk publik, sisanya dilakukan secara tertutup sebagaimana diakui oleh pemerintah dalam persidangan di MK dan diperkuat dengan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon yaitu Masyarakat Adat Tamblingan yang hadir   dalam   RDPU   di  DPR  dan  Indonesia  Parliamentary  Center  semakin  menegaskan ketidakpatuhan  Pemerintah  dan  DPR  terhadap  Putusan  MK  No.  97/PUU‑XIX/2021  tentang meaningful participation.” Ujar Muhammad Arman.

Pernyataan tersebut diatas dikuatkan oleh Tim Kuasa Hukum Judicial Review UU KSDAHE,

Victor Santoso Tandiasa –   sebagai Tim Hukum Pengujian Formil Undang-Undang KSDAHE menyatakan bahwa “Proses uji formil JR termasuk ‘speedy trial’ yang dilakukan selama 60 hari sejak keterangan Presiden diterima sampai batas maksimal adalah pada tanggal 28 Juni 2024. Mahkamah  Konstitusi  seharusnya  memaksimalkan  jangka  waktu  ini  dengan  menyediakan kesempatan  penuh  bagi  pemohon  untuk  menghadirkan  saksi  dan  ahli.  Namun  hingga  kini Pemerintah belum dapat menunjukkan daftar hadir siapa saja yang mengikuti pembahasan RUU KSDAHE. Lebih jauh, ahli yang diundang dalam RDPU pun tidak diberikan naskah akademik, sehingga terbukti bahwa DPR dan Pemerintah hanya menjalankan formalitas tanpa benar‑benar mewujudkan meaningful participation.”

Media  briefing  ini  menyoroti  pentingnya  pengakuan  hukum  terhadap  keberadaan  dan  hak Masyarakat Adat serta lokal di kawasan konservasi. Dalam praktiknya, pendekatan konservasi yang  eksklusif  telah  menimbulkan  berbagai  bentuk  kriminalisasi  dan  pelanggaran  hak  asasi Masyarakat Adat yang tinggal secara turun-temurun di wilayah adat mereka yang kini masuk dalam kawasan konservasi.

Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCA Indonesia menyampaikan bahwa hal di atas tidak lepas dari keberadaan UU No. 5 Tahun 1990 yang belum mengakui peran Masyarakat Adat sebagai aktor utama konservasi, padahal secara empiris praktik konservasi yang dilakukan  masyarakat  adat  dan  komunitas  lokal  secara  turun temurun sangat mencerminkan praktik konservasi yang holistik, adil, dan lestari. Karena itu, perubahan terhadap UU ini menjadi fokus advokasi WGII sejak tahun 2016.

“Saat Rancangan Undang-Undang KSDAHE masuk prolegnas, kami segera konsolidasi dengan koalisi  dan  masyarakat  adat  untuk  menyusun masukan, serta mendorong keterlibatan formal dalam RDPU. Sayangnya, masukan kami dalam bentuk DIM dan catatan kritis tidak diakomodir oleh  pemerintah.  Pemerintah  dan  DPR  mengebutkan  bahwa  DIM  hanya  bisa  disusun  oleh pembentuk undang, dan masukan dari masyarakat sifatnya hanya dipertimbangkan. artinya DIM yang kami berikan tidak ada maknanya bagi penyusunan UU ini. Lantas untuk apa kami hadir dan dilibatkan? .Ujar Lasti.

“UU No. 32 Tahun 2024, alih-alih menjadi payung hukum konservasi yang lebih inklusif dan mengakomodasi hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal, justru mengandung substansi yang membuka celah lebih besar bagi perampasan ruang hidup dan hak-hak mereka. Hal ini tercermin dalam sejumlah pasal bermasalah, salah satunya terkait pemanfaatan jasa lingkungan untuk kepentingan geothermal (panas bumi) dan karbon,” tambahnya.

Undang-Undang  KSDAHE  juga  tidak  mengatur  hak  masyarakat  adat  atas  Free,  Prior  and Informed Consent (FPIC) dalam proses penetapan Kawasan Konservasi. Ketiadaan ketentuan ini mencerminkan  bahwa  keberadaan  dan  hak  masyarakat  adat  tidak  diakui  dalam  penetapan kawasan  tersebut,  sehingga  ketika  investasi  atau  proyek  masuk  ke  dalamnya,  masyarakat seringkali  tidak  dilibatkan.  Padahal,  sebagian  besar  wilayah  yang  dilindungi,  dijaga,  dan dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat adat dan komunitas lokal berada di dalam kawasan konservasi—namun hingga kini belum memiliki kejelasan status maupun pengakuan hak tenurial.

Terdapat    banyak    pasal-pasal    bermasalah                 dalam Undang-Undang  KSDAHE baru, Anggi Putra Prayoga dari  Forest  Watch Indonesia (FWI) yang juga sebagai Ketua   Tim Kampanye Kawal Rancangan Undang-Undang  Masyarakat  Adat  menyatakan  bahwa “Ada  beberapa  pasal  dalam  UU  No.  32/2024 tentang KSDAHE  yang  berpotensi besar mengeksklusi Masyarakat Adat dari wilayahnya. Antara lain pasal 8 ayat 4 dan 5 yang mengatur pembagian areal preservasi. Areal  preservasi  bisa  dari  Kawasan  Hutan  Lindung, Kawasan Hutan Produksi, dan Areal Penggunaan Lain (APL).  Pada pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang pemegang hak atas tanah di areal preservasi tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE harus melepaskan hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi”.

Selama proses pembahasan berlangsung yang tidak melibatkan masyarakat sipil dan Masyarakat Adat ini jelas menjadi perhatian publik ketika sebuah produk hukum dan politik dihasilkan, dalam hal  ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan DPR RI juga minim melibatkan masyarakat sipil dan organisasi lingkungan dan sosial.

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat harus menjadi bagian integral dari kebijakan konservasi, karena sejatinya Masyarakat Adat terbukti sebagai penjaga kelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia, tutup Anggi.

 

SELESAI

Untuk dokumentasi pendukung dapat diakses melalui link berikut :  https://drive.google.com/drive/u/0/folders/16the6Xn9dz2jxjXr3hwqOKKj3i3uFI6p

Narahubung:

Alvin : +62 857-2034-6154
Rai : +62 831-3334-3401

BAGIKAN ARTIKEL INI
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terkait

id_IDBahasa Indonesia